Posisi Tawar Petani Indonesia Lemah

Kamis, 24 Februari 2011 00:56 – Agustus 2011, pemerintah Indonesia akan mengimpor beras untuk menjaga stok nasional agar negara aman dari ancaman krisis pangan. Pertanyaannya, apa yang salah dengan Indonesia sebagai negara agraris?

Kalau dilihat sejarah, menurut Greertz, Clifford (1976), dalam buku ‘Involusi Pertanian’, proses perubahan ekologi di Indonesia, bila dibandingkan antara Indonesia dengan Jepang dalam sektor pertanian, terutama padi, terdapat beberapa persamaan, seperti ; hasil padi per hektare di Jawa dan di Jepang dari kurun waktu (1868-1970) adalah sama, keadaan masyarakat yang sifatnya sama-sama feodal, penduduk yang sama-sama padat dan sistem pertanian sawah dengan lahan yang tidak begitu luas

Namun setelah 49 tahun berlalu, kondisi ini ternyata nasib petani Indonesia kesejahteraannya jauh di bawah kesejahteraan petani Jepang. Hal ini ditunjukkan data BPS tahun 2010, dimana jumlah penduduk miskin di pedesaan di seluruh indonesia mencapai 19,93 juta jiwa. Artinya, sebahagian besar masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan tersebut adalah petani dari sekitar 38 juta rumah tangga petani yang terdata. Ini menunjukkan jumlah petani mencapai 44 persen dari total angkatan kerja di Indonesia, atau setengah dari penduduk Indonesia masih tergantung kepada pertanian.

Sungguh ironis, ketika setengah rakyat Indonesia  masih tergantung kepada sektor pertanian, namu pertanian ini tidak membuat kualitas hidup petani menjadi lebih baik.

Tingkat Produksi Versus Harga Jual

Menurut boklet Badan Pusat Statistik, Agustus 2010, terjadi produksi hasil-hasil pertanian. Untuk padi, secara nasional, pada tahun 2007 sebesar 57.157.435 ton, tahun 2008 sebesar 60.325.925 ton, tahun 2009 sebesar 64.398.890 ton, dan tahun 2010 diperkirakan sebesar 65.150.764 ton.

Kalau dasar perhitungan, asumsi jumlah rumah tangga petani pada tahun 2010 sebanyak 38 juta, maka penghasilan petani per rumah tangga pada tahun 2010 sebanyak 1,714 ton.

Jika kita lihat rata-rata nasional harga gabah di tingkat penggilingan tahun 2010, menurut BPPS sebesar Rp3.500/kg, maka penghasilan petani per rumah tangga sebesar Rp5.999.000, sudah termasuk di dalamnya biaya produksi. Jika diasumsikan biaya produksi 30 persen saja, maka penghasilan bersih petani per rumah tangga sebesar Rp4.199.300, atau sekitar Rp350.000/ bulan.  Jika diasumsikan tenaga kerja per rumah tangga rata-rata 3 orang, maka penghasilan per orang petani hanya sekitar Rp116.000/bulan. Bandingkan dengan rata-rata UMR nasional yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2010 sebesar Rp1.068.399.

Problem petani kecil Indonesia di masa modernisasi ini semakin menjadi kompleks. Di satu sisi kebutuhan dan konsumsi akan pangan meningkat tapi di sisi lain, petani tidak dapat memanfaatkan peningkatan konsumsi pangan tersebut. Salah satu dilema Indonesia adalah jika beras petani dibeli dengan harga tinggi akan dapat menimbulkan inflasi, karena seluruh masyarakat ekonomi menengah Indonesia yang mengkonsumsi beras mempunyai daya beli yang sangat rendah. Sehingga posisi petani pangan di Indonesia selalu dalam dilema dan cenderung “dikorbankan”. Sebagai perbandingan harga gabah kering panen berkisar antara Rp3.000-Rp3.500 per kg. Walaupun harga beras bulan September 2010 tercatat berkisar dari Rp5000-Rp8.000 per kg, namun harga ini tidak dapat dikatakan harga yang sepenuhnya dinikmati petani. Harga ini lebih banyak dinikmati oleh tengkulak, pedagang pengumpul atau pemilik-pemilik huller yang merupakan elit-elit ekonomi di pedesaan. Modernisasi mengakibatkan yang diterima petani sebagai produsen semakin jauh di bawah dari yang dibayar konsumennya.

Ada mata rantai yang tercipta sehingga harga beras di pasar belum tentu berpengaruh terhadap harga yang dinikmati oleh petani. Keterbatasan teknologi juga membuat petani Indonesia hanya mampu menjual hasil pertanian pangan dalam bentuk bahan setengah jadi “dibaca gabah”.

Proses-proses produksi pada sistem pertanian modern mempunya biaya tinggi. Petani harus mengeluarkan biaya untuk membeli bibit unggul. Ternyata bibit-bibit unggul juga unggul dalam kebutuhan biayanya karena sangat tegantung pada pupuk yang harganya terus melonjak tidak terkendali. Mekanisasi pertanian mengharuskan petani kecil pun harus mengeluarkan ongkos untuk sewa mesin-mesin pertanian yang pada pertanian tradisional lebih murah dengan sistem gotong royong yang padat karya. Peningkatkan biaya produksi yang tidak diikuti dengan peningkatan harga yang layak di pasar primer di tingkat petani, semakin menjauhkan petani dari kesejahteraan.

Kebijakan Pemerintah

Untuk menolong petani, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah pernah memberikan subsidi kepada petani, seperti subsidi terhadap pupuk pertanian. Namun ternyata dengan sistem yang ada, tidak efektif. Sering kita dengar, ketika musim tanam tiba-tiba pupuk hilang dari pasaran dan akhirnya petani membeli dari pasar gelap yang harganya sangat mahal.

Hal ini disebabkan, kebijakan yang dikeluarkan tidak diikuti dengan pengawasan yang kuat. Lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang berperan mengawasi distribusi pupuk hingga ke petani, sangat lemah. Hal ini mempengaruhi tidak maksimalnya sistem distribusi pupuk. Itulah sebabnya selalu terulang, pupuk menghilang di pasaran ketika petani bersiap-siap memulai musim tanam.

Di samping itu, kebijakan yang tidak bersahabat terhadap petani sering sekali diambil oleh pemerintah dengan alasan mencegah inflasi. Ketika terjadi kekurangan stok pemerintah tanpa pikir panjang melakukan impor beras.

Kebijakan ini jelas semakin menghancurkan harga jual produk pertanian lokal. Sementara saat produksi surplus juga terjadi penurunan harga gabah yang cukup signifikan di tengah petani produksi tanpa bisa di atur oleh pemerintah, sehingga lengkaplah sudah bahwa petani Indonesia termarginalkan di sebuah negara agraris.

Mekanisme Pasar dan Posisi Tawar

Mekanisme pasar bebas yang berlaku dewasa ini juka ikut menyudutkan petani, karena selama ini kalangan petani produsen di Indonesia masih memiliki ketidakmampuan tawar-menawar dengan pembeli untuk memperoleh harga produknya yang wajar.

Ada beberapa hal yang memposisikan kelemahan daya tawar petani terhadap pembeli produknya, antara lain umumnya disebabkan karena faktor keterbatasan sarana dan prasarana, permodalan serta akses informasi pasar.

Faktor keterbatasan ini, mengakibatkan ketergantungan terhadap rentenir, akibatnya sebanyak 40 persen dari hasil penjualan panenan menjadi milik para rentenir atau tengkulak. Keadaan ini membuat peningkatan produktivitas pertanian tidak lagi menjadi jaminan akan memberikan keuntungan layak bagi petani.

Kondisi ini semakin parah karena di antara petani produsen Indonesia yang sebahagian besar adalah rumah tangga miskin, luas lahan yang terbatas dan modal kerja yang minim tidak mempunyai suatu kelembagaan yang mampu mengorganisasi mereka sehingga menjadi berdaya.

Upaya yang harus dilakukan adalah menaikkan daya tawar petani produsen, karena persoalan mendasarnya adalah posisi lemah petani dalam permainan pasar, dan posisi lemah pada relasi dengan pelaku ekonomi lainnya. Kelemahan dalam pemasaran terjadi karena dominasi tengkulak dalam menentukan harga jual produk pertanian di tingkat petani. Ketergantungan pemenuhan modal kerja untuk pembelian sarana produksi dari tengkulak atau pemodal menyebabkan praktek ijon dan penentuan harga jual yang tidak bisa dielakan petani.

JAJANG FADLI, Aktivis Kabisat dan Mahasiswa Pascasarjana SosiologI Universitas Andalas

Tinggalkan komentar