Pergerakan Mahasiswa Pasca Reformasi

oleh Efri S. Bahri 

Detik – detik pergerakan reformasi telah berlalu lebih dari dua tahun. Berbagai ‘event ‘ besar juga relatif sudah dilewati secara mulus, seperti pemilu 7 juni 1999. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat ( SU MPR ), akhirnya menetapkan Gusdur sebagai presiden  dan Megawati Sukarno Putri sebagai wakil presiden. Sedangkan Amin Rais sang tokoh reformasi, dipercaya sebagai ketua MPR.  Akbar Tanjung sebagai ketua DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat ).

Posisi – posisi tersebut terkesan menjadi sebuah kompromi politik era reformasi. Tidak hanya sampai disitu, pada posisi kabinet persatuan pun banyak para wakil partai politik, seperti Yusril Ihza Mahendra ( Partai Bulan Bintang), Nurmahmudi Ismail (Partai Keadilan), belakangan beliau mengundurkan diri dari Presiden PK dan memilih jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hamzah Haz (PPP) juga bergabung di kabinet tersebut walaupun akhirnya digantikan oleh Basri Hasanudin (mantan Rektor Univ.Hasanudin Ujung Pandang). Laksamana Sukardi (PDI) pun belakangan juga di-resuffle dan digantikan dengan Rozy Munir, dan lain-lain.

Kabinet ‘kompromi’ ini menandakan tidak atau belum adanya partai yang secara jelas menyatakan garis politiknya sebagai oposisi. Implikasinya, kontrol terhadap pemerintahan Gusdur masih setengah hati. Praktis, agenda reformasi yang diusung oleh pergerakan reformasi masih debatable dikalangan legislatif. Sehingga reformasi menjadi berjalan lamban.

Tuntutan atas penghapusan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotismo) menjadi jauh dari impian pergerakan reformasi, tatkala masyarakat disuguhi dengan kasus-kasus baru yang mencengangkan. Terakhir kasus dugaan korupsi Rp.3,5 Milyar di Bulog  yang melibatkan para pejabat tinggi Negara. BPPN yang diharapkan menjadi ‘dewa cash flow’ untuk APBN, ternyata juga masih belum mampu mengatasi debitur kelas kakap, yang masih mengulur-ulur proses rekapitalisasi. Akhirnya, kerajaan bisnis yang selama ini sudah dirintis para pengusaha serta merta assetnya dijual. Kenapa ? Demi Negara. Karena, sumber keuangan kita bukan hanya sangat terbatas, tetapi sudah diujung tanduk.

Bayangkan, saat ini Indonesia tidak saja memiliki utang yang besar,  sekitar US$ 150 milyar dari pihak swasta maupun Pemerintah, tetapi juga menurunnya rasio kemampuan mambayar utang yang sangat besar tersebut. Debt Service Ratio (DSR) pada awal 1999 lebih dari 50%. Artinya, setengah pendapatan Negara dari hasil ekspor dipakai untuk membayar cicilan bunga dan utang. Pada tahun yang sama, total utang 1,5 kali lebih besar bila dibandingkan dengan pendapatan kotor domestik kita.

Sedangkan, pada tahun anggaran 1998/1999, pemerintah mengalokasikan 39% dari anggaran rutin hanya untuk membayar bunga dan cicilan utang luar negeri. Sementara untuk tahun anggaran 1999/2000 diperkirakan pemerintah mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar 44% dari total pengeluaran rutin, yang langsung membebani APBN tahun fiskal 1999/2000 sebesar Rp.34 triliun (Rp.18 triliun dari APBN dan sisanya dari BPPN). Jumlah ini ditambah lagi dengan biaya restrukturisasi perbankan sebesar  Rp. 550 triliun (terbesar selama 30 tahun terkhir).

Membaca angka-angka keuangan negara tersebut, tidak hanya membuat kita tercengang. Tetapi juga menimbulkan dampak pesimistis, karena bagi siapapun yang masuk dalam kekuasaan, serta merta di duga akan mengambil dua tindakan, yakni bagaimana melunasi utang negara dan bagaimana menutupi ‘lobang’ APBN.

Sekarang persoalannya, kontribusi apa yang mesti dilakukan oleh aktifis  pergerakan reformasi? Yang jelas, saat ini orang-orang yang ‘menjadi pahlawan’ reformasi sudah disuguhi jabatan dalam kekuasaan. Cukuplah mahasiswa sebagai pelopor pergerakan reformasi, percaya saja bahwa mereka yang duduk di kekuasaan saat ini akan memperjuangkan aspirasi reformasi ?

Percaya tentu boleh-boleh saja, tatapi terlalu percaya jaga akan membuat kita lengah. Kenaikan gaji pejabat eksekutif dan legislatif merupakan salah satu cermin tidak adanya sensitifitas para pejabat terhadap kondisi masyarakat. Surat edaran Dirjen Anggaran dianggap sebagai pemicunya. Bahkan terakhir, di Tanah Datar, para Kepala Desa yang tergabung dalam FKKD masih mendesak Dewan supaya menurunkan gaji Anggota Dewan. Di DPRD Sumbar, juga terjadi tuntutan yang sama yaitu revisi atas APBD. Secara makro, kenaikan gaji berbagai elemen tersebut tentu akan semakin memberatkan keuangan negara. Tetapi persoalan esensinya terletak pada bagaimana supaya pihak yang berkewenangan  dalam pengambilan keputusan  strategis di tingkat negara melakukan distribusi secara berkeadilan.

Berbagai indikator yang semula diharapkan dapat mengurangi beban nagara belum juga pulih, seperti : makin turunnya nilai kurs rupiah terhadap dollar AS, terakhir sudah mencapai Rp.8.500 tiap US$ 1, pengusutan KKN yang setengah hati, konflik di beberapa daerah yang kian menjadi – jadi. Aparat keamanan, dengan jumlah dan perlengkapan yang ada saat ini juga belum mampu mengatasi peristiwa Ambon, Aceh, Papua, Poso, Medan dan daerah lain di Indonesia.

Bagi kita di Sumatera Barat, kiranya para tokoh masyarakat, baik ulama, cerdik pandai, mahasiswa, perlu untuk lebih mendorong legislatif  dan eksekutif untuk memberikan jaminan terhadap keamanan di daerah, yang paling penting adalah bagaimana Sumatera Barat memberikan kontribusi ke arah  terciptanya keutuhan bangsa ini. Apalagi daerah ini dikenal sebagai gudang tokoh pergerakan nasional. Khusus bagi kita pegiat pergerakan reformasi, sudah saatnya juga untuk lebih memberikan ‘warna’ dalam rangka merekat persaudaraan dan keutuhan bangsa. Sehingga pergerakan reformasi di daerah ini bukan lagi menjadi subordinat dari pergerakan nasional.

Membangkitkan Kembali Tradisi Intelektual Minangkabau

oleh Efri S. Bahri 

Sejarah telah mencatat ‘nagai Minangkabau’ sebagai wilayah yang paling subur ‘produk’ budaya intelektualnya. Pernyataan dibuktikan dengan adanya 13 pers yang diterbitkan di Minangkabau pada awal abad 20 (Lihat Bachtiar Ali, Perkembangan Jurnalistik Indonesia: Hambatan dan Tantangan Dalam Pemberdayaan Ummat, 1999) antara lain: Al Munir (1911), Wasir Hindia (1903), Oetoesan Melayoe (1911), Soenting Melayoe (1912), Medan Ra’jat (1916), Soematra Tengah (1914), Soeraya Islam (1931), Moeslim Hindia (1932), Tjaboet (1933), Perantara Kita (1938), Adabiah (1922), Soera Islam (1931), dan Soeoeh Koto Ampat (1929). Dalam dunia Islam, prestasi intelektual generasi Minangkabau ketika itu sejalan dengan adanya dua terbitan di dunia Islam, yaitu: Al Manar yang digagas oleh Rashid Ridho (Kairo, 1898) dan Al-Iman (Singapura, 1906).Hal ini tentu membuktikan bahwa Minangkabau sudah memiliki basis budaya intelektual yang sangat kuat. Persoalannya, masihkah tradisi intelektual itu masih dimiliki? Di abad 21 ini banyak kalangan yang mengkritik bahwa tradisi intelektual tidak lagi dimiliki oleh generasi Minangkabau ‘modern’. Sehingga dikatakan bahwa Minangkabau tidak lagi menjadi industri otak. Indikator yang seringkali digunakan untuk membenarkan kemunduran intelektual ini adalah tidak (belum) adanya tokoh ulama yang sekaliber buya Hamka, sulit mencari politisi ulung ‘kaya’ Agus Salim, dan belum ada bapak bangsa yang terlahir seperti Bung Hatta, Natsir, dll.

Saya menyamput baik dan positif dengan banyaknya autokritik yang dilontarkan saat ini. Setidaknya hal itu memberikan nuansa dan ruang gerak berpikir kepada generasi sekarang untuk mampu menempatkan dirinya kedalam posisi strategis bangsa, entah sebagai buya, sebagai politisi, birokrat sejari, wirausahawan, guru bangsa, dll. Namun, yang patut dikritisi adalah relevankah kita memakai indikator ‘produk intelektual’ adanya tokoh yang dikenal luas di publik. Bukankah para tokoh besar seperti Hamka, Agus Salim, Natsir, bahkan Tan Malaka, tidak pernah bermimpi menjadi tokoh atau ditokohkan oleh masyarakat. Yang ada adalah mereka selalu secara sustain menghasilkan karya intelektual. Kalau berpikir sejenak melihat bumi Indonesia ini, sekarang pun masyarakat Minang bukan tanpa tokoh.

Namun terdapat perbedaan yang mencolok, kalau dahulu terdapat tokoh intelektual, sekarang yang ada adalah tokoh birokrat. Masih ada putra Minang yang menduduki posisi strategis di birokrasi. Namun, sebagai masyarakat Minang kita tentu kita berkeinginan tokoh birokrat juga menjadi tokoh intelektual yang berada dalam relung kehidupan masyarakat. Tokoh yang mampu melahirkan gagasan untuk membawa bangsa ini kelaur dari krisis yang berkepanjangan, krisis multidimensional.

Menghadapi adanya sinyalemen terjadinya degradasi intelektual, ada beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti. Pertama, sudah menjadi kebutuhan saat ini untuk melahirkan kembali media-media di setiap level institusi di Minagkabau yang mampu menjadi wadah alternatif dalam membangkitkan budaya intelektual khususnya di institusi pendidikan.Kedua, media massa yang terbit di wilayah ‘the land of minangkabau’ diharapkan dapat memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada para generasi muda. Dengan banyaknya media yang terbit saat ini merupakan suatu peluang yang mesti dimanfaatkan semacara maksimal oleh para intelektual muda kita. Ketiga, para praktisi pendidikan baik dosen maupun guru sebaiknya memberikan contoh kepada para mahasiswa dan anak didik (pelajar) dalam mengembangkan potensi intelektualnya melalui ‘rpdiksi’ artikel di media publik.

Disamping hal di atas, salah satu faktor yang menentukan tumbuh suburnya budaya intelektual adalah tersedianya perpustakaan publik yang menyediakan informasi, bahan bacaan serta suasana nyaman. Selain itu, perpustakaan mesti memberikan kemudahan-kemudahan dalam pemakaian dan peminjaman bukun kepada para pembaca. Sebagai perbandingan, British Council Jakarta, merupakan salah satu pustaka
yang telah berhasil memberikan pelayanan yang memadai kepada para pembacanya.

Kepiawaian pengelolanya dalam memadukan beberapa fungsi teknologi seperti: internet, video, dan CD player telah mampu memberikan layanan terhadap kebutuhan pembaca. Sehingga, dengan fasilitas dan pelayanan memadai tersebut para pembaca akan mau mengorbankan dananya untuk mendapat pelayanan dan akses informasi melalui perpustakaan tersebut. Bagi perpustakaan di daerah barangkali ada baiknya untuk melakukan studi banding atau bahkan bekerjasama dengan perpustakaan yang telah maju seperti British Council ini. Bukankah dunia Islam dulu majunya karena memiliki perpustakaan yang terkelola dengan baik. Makanya, kebangkitannya di masa datangpun akan tersupport oleh keberadaan perpustakaan.
Dengan tersedianya berbagai fasilitas sekarang ini sebenarnya bukan menjadi alasan lagi untuk mengatakan terjadinya degradasi intelektual. Keengganan kita untuk memanfaatkan fasilitas dan akses yang kita punyalah yang menyebabkan degradasi intelektual mitu terjadi. Semoga para generasi muda Minangkabau mau dan mampu memberikan kontribusi posisitf dalam membangkatkan kembali budaya inetelektual Minangkabau. Wassalam. 

Versi awal dimuat di MimbarMinang, Rabu, 04/07/2001