Membangkitkan Kembali Tradisi Intelektual Minangkabau

oleh Efri S. Bahri 

Sejarah telah mencatat ‘nagai Minangkabau’ sebagai wilayah yang paling subur ‘produk’ budaya intelektualnya. Pernyataan dibuktikan dengan adanya 13 pers yang diterbitkan di Minangkabau pada awal abad 20 (Lihat Bachtiar Ali, Perkembangan Jurnalistik Indonesia: Hambatan dan Tantangan Dalam Pemberdayaan Ummat, 1999) antara lain: Al Munir (1911), Wasir Hindia (1903), Oetoesan Melayoe (1911), Soenting Melayoe (1912), Medan Ra’jat (1916), Soematra Tengah (1914), Soeraya Islam (1931), Moeslim Hindia (1932), Tjaboet (1933), Perantara Kita (1938), Adabiah (1922), Soera Islam (1931), dan Soeoeh Koto Ampat (1929). Dalam dunia Islam, prestasi intelektual generasi Minangkabau ketika itu sejalan dengan adanya dua terbitan di dunia Islam, yaitu: Al Manar yang digagas oleh Rashid Ridho (Kairo, 1898) dan Al-Iman (Singapura, 1906).Hal ini tentu membuktikan bahwa Minangkabau sudah memiliki basis budaya intelektual yang sangat kuat. Persoalannya, masihkah tradisi intelektual itu masih dimiliki? Di abad 21 ini banyak kalangan yang mengkritik bahwa tradisi intelektual tidak lagi dimiliki oleh generasi Minangkabau ‘modern’. Sehingga dikatakan bahwa Minangkabau tidak lagi menjadi industri otak. Indikator yang seringkali digunakan untuk membenarkan kemunduran intelektual ini adalah tidak (belum) adanya tokoh ulama yang sekaliber buya Hamka, sulit mencari politisi ulung ‘kaya’ Agus Salim, dan belum ada bapak bangsa yang terlahir seperti Bung Hatta, Natsir, dll.

Saya menyamput baik dan positif dengan banyaknya autokritik yang dilontarkan saat ini. Setidaknya hal itu memberikan nuansa dan ruang gerak berpikir kepada generasi sekarang untuk mampu menempatkan dirinya kedalam posisi strategis bangsa, entah sebagai buya, sebagai politisi, birokrat sejari, wirausahawan, guru bangsa, dll. Namun, yang patut dikritisi adalah relevankah kita memakai indikator ‘produk intelektual’ adanya tokoh yang dikenal luas di publik. Bukankah para tokoh besar seperti Hamka, Agus Salim, Natsir, bahkan Tan Malaka, tidak pernah bermimpi menjadi tokoh atau ditokohkan oleh masyarakat. Yang ada adalah mereka selalu secara sustain menghasilkan karya intelektual. Kalau berpikir sejenak melihat bumi Indonesia ini, sekarang pun masyarakat Minang bukan tanpa tokoh.

Namun terdapat perbedaan yang mencolok, kalau dahulu terdapat tokoh intelektual, sekarang yang ada adalah tokoh birokrat. Masih ada putra Minang yang menduduki posisi strategis di birokrasi. Namun, sebagai masyarakat Minang kita tentu kita berkeinginan tokoh birokrat juga menjadi tokoh intelektual yang berada dalam relung kehidupan masyarakat. Tokoh yang mampu melahirkan gagasan untuk membawa bangsa ini kelaur dari krisis yang berkepanjangan, krisis multidimensional.

Menghadapi adanya sinyalemen terjadinya degradasi intelektual, ada beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti. Pertama, sudah menjadi kebutuhan saat ini untuk melahirkan kembali media-media di setiap level institusi di Minagkabau yang mampu menjadi wadah alternatif dalam membangkitkan budaya intelektual khususnya di institusi pendidikan.Kedua, media massa yang terbit di wilayah ‘the land of minangkabau’ diharapkan dapat memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada para generasi muda. Dengan banyaknya media yang terbit saat ini merupakan suatu peluang yang mesti dimanfaatkan semacara maksimal oleh para intelektual muda kita. Ketiga, para praktisi pendidikan baik dosen maupun guru sebaiknya memberikan contoh kepada para mahasiswa dan anak didik (pelajar) dalam mengembangkan potensi intelektualnya melalui ‘rpdiksi’ artikel di media publik.

Disamping hal di atas, salah satu faktor yang menentukan tumbuh suburnya budaya intelektual adalah tersedianya perpustakaan publik yang menyediakan informasi, bahan bacaan serta suasana nyaman. Selain itu, perpustakaan mesti memberikan kemudahan-kemudahan dalam pemakaian dan peminjaman bukun kepada para pembaca. Sebagai perbandingan, British Council Jakarta, merupakan salah satu pustaka
yang telah berhasil memberikan pelayanan yang memadai kepada para pembacanya.

Kepiawaian pengelolanya dalam memadukan beberapa fungsi teknologi seperti: internet, video, dan CD player telah mampu memberikan layanan terhadap kebutuhan pembaca. Sehingga, dengan fasilitas dan pelayanan memadai tersebut para pembaca akan mau mengorbankan dananya untuk mendapat pelayanan dan akses informasi melalui perpustakaan tersebut. Bagi perpustakaan di daerah barangkali ada baiknya untuk melakukan studi banding atau bahkan bekerjasama dengan perpustakaan yang telah maju seperti British Council ini. Bukankah dunia Islam dulu majunya karena memiliki perpustakaan yang terkelola dengan baik. Makanya, kebangkitannya di masa datangpun akan tersupport oleh keberadaan perpustakaan.
Dengan tersedianya berbagai fasilitas sekarang ini sebenarnya bukan menjadi alasan lagi untuk mengatakan terjadinya degradasi intelektual. Keengganan kita untuk memanfaatkan fasilitas dan akses yang kita punyalah yang menyebabkan degradasi intelektual mitu terjadi. Semoga para generasi muda Minangkabau mau dan mampu memberikan kontribusi posisitf dalam membangkatkan kembali budaya inetelektual Minangkabau. Wassalam. 

Versi awal dimuat di MimbarMinang, Rabu, 04/07/2001

Tinggalkan komentar